Minggu, 13 Februari 2011

Kebangkitan India

Walaupun coba ditutupi dengan "pupur" keceriaan para artis Bollywood-nya, tetap saja orang tahu bahwa wajah India sesungguhnya adalah wajah nestapa berjuta-juta orang miskin yang memenuhi kota-kota yang padat, kotor, dan berdebu.

Gambaran yang tertanam kuat inilah yang rupanya mendistorsi gaung kebangkitan ekonomi India akhir- akhir ini, tidak terkecuali bagi kita di Indonesia.

Berbeda dengan kemajuan ekonomi China yang terlihat dari laju pembangunan fisiknya yang berlangsung sangat cepat dan serbuan barang-barang konsumsinya ke seantero pasar dunia, kemajuan India terjadi dalam bentuk tidak kasatmata. Tepatnya, produk yang dihasilkan India bukanlah barang, melainkan jasa outsourcing atau layanan memenuhi pesanan dari negara-negara maju untuk semua yang dapat di-"digitalisasi" atau diubah ke dalam bahasa komputer dan dikirim lewat kabel atau nirkabel (udara), misalnya pemrosesan kartu kredit dan pemesanan tiket pesawat udara secara online.

Di luar India, para pekerja bidang teknologi di Lembah Silikon, Amerika Serikat, adalah yang pertama-tama merasakan munculnya "ancaman" dari kebangkitan India. Pada akhir tahun 2003, mereka menunjukkan kekhawatiran dengan berkampanye sambil mengenakan kaus oblong bertuliskan: "Saya sudah di Bengalore-kan".

Dari situs internet gerakan anti-outsourcing diketahui kaus oblong itu dijual dengan harga 15,99 dollar AS. Bengalore adalah kota penuh pesona di selatan India dan merupakan poros teknologi negeri itu.

Di seberang Atlantik, di Inggris, aksi serupa juga terjadi. Tulisan pada kaus oblong para pemrotes di sana kali ini lebih terus terang, bunyinya: "Pekerjaanku pergi ke India - dan yang tinggal bagi saya cuma kaus jelek ini".

Para pekerja bidang teknologi di India merespons aksi itu dengan berbagai kelakar lewat chatting internet di antara mereka. Salah satunya mengatakan, "Harga kaus oblong itu terlalu mahal; gerakan anti-outsourcing semestinya dapat menurunkan biayanya dengan meng-outsource pembuatannya ke India."

Anehnya, semakin gencar kampanye anti-outsourcing di negara-negara maju, semakin banyak perusahaan mereka melakukan outsourcing ke India.

Gambaran aksi dan reaksi di atas merupakan pembuka Bab 1 buku berjudul The Rise of India: Its Transformation from Poverty to Prosperity yang ditulis Niranjan Rajadhyaksha dan diterbitkan John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd (2007).

Niranjan Rajadhyaksha adalah deputi editor majalah Business World yang memiliki basis pembaca yang luas di India. Dia memiliki gelar MA dalam ilmu ekonomi dari Universitas Mumbai dengan spesialisasinya dalam ekonomi internasional dan demografi. Awalnya ia dosen mata kuliah ekonomi untuk jenjang S-1, tetapi kemudian memilih karier sebagai jurnalis ekonomi dan keuangan, pekerjaan yang sudah ditekuninya selama 17 tahun terakhir.

Niranjan mengatakan, ia tumbuh dewasa di Sahitya Sahawas, kompleks hunian di Mumbai yang didirikan para penulis dan kritikus 40 tahun lalu. Tampaknya, karier sebagai penulis dan kritikus di India bukan saja telah menjadi profesi, melainkan juga pekerjaan yang layak untuk dibanggakan.

Dari membaca tulisannya, kita segera menangkap Niranjan melanjutkan ide Thomas L Friedman, salah satu penulis terbaik Amerika Serikat tentang globalisasi dan pemenang Hadiah Pulitzer, seperti ditulis di dalam buku-buku larisnya, The Lexus and the Olive Tree (1999) dan The World is Flat (2005).

Tepatnya, Niranjan memakai berbagai kecenderungan globalisasi Friedman untuk menjelaskan mengapa India bisa bangkit dan apa tantangan selanjutnya. Buku Niranjan dan sejenisnya mewakili titik balik dari gambaran kelabu yang dipaparkan di dalam buku-buku semacam Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations (1968) karangan Gunnar Myrdal, pemenang Nobel Memorial Prize in Economics 1974, ataupun Asian Eclipse- nya Michael Backman (1999).

Enam revolusi

Fokus Niranjan tentang kebangkitan ekonomi India dalam bukunya adalah pada kemampuan orang-orang dan organisasi komersialnya menarik manfaat dari atau bahkan menciptakan apa yang disebutnya "Enam Revolusi Besar". Menyusul Bab 1 dan Bab 2 yang berjudul Fear Over The Valley dan A Century of Lost Opportunities, uraian atas keenam revolusi tersebut membentuk Bab 3 hingga Bab 8.

Judul masing-masing revolusi pada keenam bab itu berturut-turut adalah People Power (Revolusi Demografi), India Calling (Revolusi Outsourcing) , The Global Agenda (Revolusi Globalisasi) , The Financial Revolution (Revolusi Pendanaan), The Yogi and the Consumen (Revolusi Aspirasi Masyarakat), dan Reforms for the Poor: The Acid Test (Revolusi Kebijakan Pemerintah). Buku ini diakhiri pada Bab 9 dengan judul The Dark Side of the Moon.

Ada dua sumbangan penting yang layak disebut dari buku setebal 176 halaman termasuk Epilogue dan Index ini. Pertama, keterampilan Niranjan dalam merangkai teori ekonomi, berbagai fakta seputar globalisasi dan dampaknya terhadap India dengan cara penyampaian yang tidak bertele-tele.

Latar belakang pendidikan, pengalaman awal sebagai dosen, dan terakhir jurnalis yang memiliki interaksi luas dengan orang dari berbagai kalangan memiliki andil besar dalam membentuk keterampilan ini. Dengan latar belakang itu, dapat dipastikan pembaca tidak akan berkerut keningnya karena berjumpa dengan sebuah rumus ekonomi.

Sumbangan kedua adalah ide tentang "hak asasi ekonomi" bagi kasus India. Di dunia, orang mengenal India sebagai contoh klasik keberhasilan demokrasi politik dan kegagalan pembangunan ekonomi.

Kegagalan itu, menurut Niranjan, hanya bisa diatasi apabila ekonomi tidak hanya dipandang sebagai alat oleh para ekonom, politikus, dan birokrat, tetapi juga hak mendasar setiap warga negara India. Apakah mereka para karyawan berbagai perusahaan yang harus menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, para nelayan yang menggunakan telepon genggam untuk memaksimalkan pendapatan mereka, para orangtua yang mencari sekolah yang baik bagi anak-anaknya, para petani yang mencari akses ke pasar modern, dan orang muda dengan aspirasinya untuk menaiki terus jenjang karier yang semakin tinggi.

Hak asasi

Kebangkitan yang dialami India sampai sejauh ini akibat keenam revolusi di atas adalah gambaran dari berhasilnya ekonomi dijadikan hak asasi sejumlah warga negara dan organisasi komersialnya pada bidang-bidang yang terbatas.

Sebagai contoh, reformasi kebijakan Pemerintah India ke arah kebebasan ekonomi yang lebih luas yang dimulai pada tahun 1991 adalah gambaran dari diberinya pengakuan atas hak asasi ekonomi perusahaan India dan perusahaan asing mitranya untuk memiliki kepastian berusaha di India.

Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan yang diterbitkan pada tahun 1973, misalnya, di mana rasio kepemilikan asing dan mitra Indianya dibatasi hingga maksimal 40 persen dan mengakibatkan IBM dan Coca-Cola keluar dari India.

Dampak dari diakuinya hak asasi ekonomi terakhir itu adalah berkembangnya industri jasa outsourcing India. Walau baru terbatas di satu industri dan terutama di wilayah Bengalore dan sekitarnya saja, keberhasilan ini menunjukkan perlunya perluasan pengakuan hak asasi ekonomi ke sektor dan wilayah yang lain.

Akhir kata, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca oleh para birokrat di pemerintahan, politikus, ekonom, dan para pembelajar ilmu ekonomi. Ide "hak asasi ekonomi" dapat dipastikan akan memberikan sebuah insight baru dalam memandang ekonomi sebagai alat kebijakan dan ilmu pengetahuan.

Karena pembahasannya disampaikan dengan cara populer, buku ini juga sesuai untuk dibaca pelaku bisnis sehingga memungkinkan mereka berselancar lebih baik di atas gulungan demi gulungan ombak yang terbentuk dari keenam arus revolusi.

Jangan khawatir, buku ini tidak bisa disamakan dengan cerita dalam film-film India produksi Bollywood. Bukankah melalui nama-nama seperti Rabindranath Tagore dan Amartya Sen sudah terbukti India adalah juga penghasil pemenang Hadiah Nobel bidang sastra dan ekonomi?

Sammy Kristamuljana PhD Profesor Manajemen Stratejik dan Ketua Prasetiya Mulya Business School

Tidak ada komentar:

Posting Komentar